Dr. Khambali : Sertifikasi Halal, Kenapa Bukan Yang Haram ?

Dr. Khambali : Sertifikasi Halal, Kenapa Bukan Yang Haram ?

YOGYAKARTA ( Merdeka News ) : Sesuai amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, maka produk makanan minuman, kosmetik, obat-obatan, dan produk-produk lain wajib memiliki sertifikat halal. Aturan tersebut segera berlaku mulai bulan Oktober 2019.

“Namun masalahnya sertifikasi halal biayanya cukup mahal, yakni Rp 2.5 juta dengan masa berlaku untuk 2 tahun. Ini biaya tambahan bagi produsen,” tutur pakar hukum DR. H. Muhammad Khambali, SFil, SH, MH yang juga Direktur LKBH UP45 Yogyakarta, Sabtu (21 September 2019).

Sertifikat halal dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah badan baru yang dibentuk dan berada di bawah koordinasi Kementerian Agama (Kemenag).

Salah satu hal yang harus diatur dalam produk hukum turunan UU JPH adalah detail kerja sama BPJPH dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam memberi sertifikat halal. Juga aturan tambahan mengenai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan pembiayaan sertifikasi halal.

Ada enam prosedur yang harus dilalui agar produk dari sebuah perusahaan mendapat sertifikat halal sesuai UU JPH.

Pertama, perusahaan harus mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada BPJPH. Setelah permohonan diterima, BPJPH menetapkan LPH yang akan bertugas memeriksa atau menguji kehalalan produk. LPH kemudian melakukan tugasnya di lokasi produksi dan hasil penelitian itu diserahkan kepada BPJPH.

Selanjutnya, BPJPH harus memberikan hasil pemeriksaan LPH kepada MUI. Setelah itu, MUI menggelar sidang fatwa halal untuk menentukan kehalalan produk yang diajukan.

Jika produk terkait dinyatakan halal, BPJPH berhak menerbitkan sertifikat. Produk yang dinyatakan tidak halal akan dikembalikan ke pemohon, disertai alasan dari MUI dan BPJPH.

Kemenag akan memberlakukan aturan baru sertifikasi halal menyusul penerapan UU Jaminan Produk Halal pada Oktober nanti. Meski ada aturan baru, sertifikasi halal yang sebelumnya diterbitkan MUI tetap berlaku hingga 2020.

“Menurut saya, jika sertifikasi halal dimaksudkan untuk menjamin dan menjaga umat muslim, bukan untuk mencari pemasukan uang bagi suatu lembaga, mengapa tidak yang haram yang diberi label,” tegas Dr Khambali yang juga alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Mengapa bukan yang haram saja yang diberi label, agar umat muslim terjaga dari konsumsi yang haram.

Ini tidak adil, tidak memartabatkan produsen, sekaligus pasti akan menambah beban harga bagi konsumen.

“Dengan adanya sertifikasi halal yang pasti ada biaya yang dikeluarkan oleh produsen, biaya mana akan dihitung sebagai biaya produksi, maka beban biaya produksi tersebut pasti akan dibebankan kepada konsumen. Berupa harga naik, atau penurunan kualitas dan kuantitasnya”, lanjut DR. H. Muhammad Khambali, SFil, SH, MH yang Dosen Tetap Fak Hukum UP45 Yogyakarta. ( Zen )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*