Nagasasra Sabuk Inten Seri 03 B Karya SH Mintardja

Nagasasra Sabuk Inten Seri 03 B Karya SH Mintardja

Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak menjadi repot untuk menjawabnya. Pastilah ia tidak akan dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia mendapat jawaban bahwa orang itu bernama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu. Karena itu segera ia menjawab, “Sagotra, sebenarnya kedatanganku ke daerah Pliridan ini adalah untuk mencari seseorang yang bernama Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan Ki Ardi, mungkin aku akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang bernama Ki Santanu itu.”

Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini. Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu belum pernah dikenalnya.

“Tuan,” jawab Sagotra, ”barangkali aku dapat mengenal semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga Ki Ardi. Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya ia mempunyai sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang itu?”

Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, “Aku sendiri belum pernah mengenal wajahnya. Ia adalah kakek gadis itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah kita tengok ia, barangkali sudah bangun.”

Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke arah tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi terbaring diatasnya. Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali. Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang berbahaya serta mengandung banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.

Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya. Memusatkan pikiran serta segenap pancainderanya untuk menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi tidak ada yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan angin, serta tak ada yang didengar selain gemersik dedaunan itu, serta tarikan nafas Sagotra.

Mahesa Jenar adalah seorang yang cukup matang. Ia memiliki ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak. Tetapi meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifat-sifatnya itu. Pada saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat menguasai pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu peristiwa yang belum pernah dirasakan. Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-tiba Mahesa Jenar berlari kesana kemari sambil memanggil-manggil nama Rara Wilis. Melihat sikap Mahesa Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas, sehingga terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang yang lebih tua, tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu. Dan memang demikianlah kiranya. Mahesa Jenar mencoba mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh hatinya terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut di hatinya sedemikian eratnya.

Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian dari jiwanya sendiri.

Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis telah lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta giginya gemeretak. Tiba-tiba saja ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk menyalurkan amarahnya. Dalam keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri disamping sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai pecah berserakan.

Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak makan garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia menyaksikan Lawa Ijo terluka parah, sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu disebabkan oleh karena pukulan tangan saja. Ia menyangka, bahwa orang yang telah melukainya pasti mempergunakan senjata rahasia atau sebangsanya. Tetapi sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri, akibat dari pukulan orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja, pukulan itu dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih dari batu itu. Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya, bahwa Mahesa Jenar tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali. Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya ada orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit yang mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung, Bagolan yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang lagi, tetapi sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar. Andaikata itu bisa terjadi, pastilah lebih dari separo diantaranya sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.

Tetapi, belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, tubuhnya semakin gemetar lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat itu, Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya, mendadak meloncati Sagotra dan langsung memegang leher orang itu, sambil menggeram, “Setan, rupanya kau telah memancing aku untuk menjauhi Wilis.“

Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra telah terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat sangat. Ia tahu betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa Jenar bertindak diluar kesadarannya.

Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua tangannya yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin menekan.

Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan Mahesa Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya, sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena hal yang sama sekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa harapan untuk hidup sudah tidak ada lagi, hatinya malahan menjadi tenang. Maka dengan susah payah ia berkata, “Tuan, aku tidak akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan jatuhkan atas diriku. Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali. Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru kematianku disebabkan oleh suatu hal yang sama sekali tak kumengerti. Sebab aku sama sekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benar-benar akan membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin mencelakakan Tuan“

Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang putus asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar. Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra yang kasar, jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-asaan dan kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata kanak-kanak yang belum pernah dijamah dosa.

Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya dilepaskanlah leher Sagotra itu sama sekali.

“Maafkanlah aku,” Sagotra, bisik Mahesa Jenar.

Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat ditahannya.

“Sagotra…,” kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak penjelasan, “Benarkah kau tidak berbuat itu?“

“Tuan,” jawab Sagotra, ”memang aku dapat memahami tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kedatanganku sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu. Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku di luar rencana semula.”

Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka sekalipun, ia pasti akan dapat menangkap suara ataupun gerak dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra ia sama sekali tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi jarak mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya. Karena itu ia menduga, bahwa hal ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehebatan luar biasa pula. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya Pasingsingan bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar yang masih terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat bungkusan Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar Penjalin. Tetapi alangkah terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula. Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk lemas diatas tikar Rara Wilis.

Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar. Tetapi sama sekali ia tidak berani menegurnya.

Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa Jenar terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini telah terenggut dan berderai berserakan. Alangkah dalam luka yang dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan perasaannya. Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah pertanggungjawaban yang digenggamnya telah dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apa-apa, dan sekaligus yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.

Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu Dandanggula sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar mengenal, bahwa Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut Pandan Alas. Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun bergulung-gulung berkumandang memenuhi segala penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan pasti arah suara itu. Mahesa Jenar segera berdiri tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan pancainderanya untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai ke telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang bergolak hebat, karena hilangnya Rara Wilis.

Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga rohaniah tambahan yang cukup besar, sehingga kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian, setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti orang bersamadi, perlahan-lahan ia dapat menangkap arah suara yang sayup-sayup sampai ke telinganya itu.

Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana arah suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan kemudian menyusup gerumbul menuju arah barat.

Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti Mahesa Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang bermain kejar-kejaran.

Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul kecil itu, serta dengan cekatan sekali ia melompat keatas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau sampai ada orang di padang terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari pengawasannya yang seakan-akan mempunyai kelebihan dibanding mata orang biasa.

Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak melihat suatu apapun. Sedang suara Dandanggula itupun telah berhenti.

Sementara itu, bulan pun telah rendah sekali, hampir sampai ke garis cakrawala, sehingga malam menjadi semakin kelam. Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh dalam hati. Dirasanya betapa picik pengetahuan serta rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam keadaan seperti ini sama sekali ia tidak berdaya.

Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata menghadapi tokoh-tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih dari seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.

Dengan tidak sengaja Mahesa Jenar memandangi bulan yang masih sangat remaja, yang hampir tenggelam di kaki langit. Sinarnya demikian suram, sesuram hatinya.

Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat di hadapan wajah bulan yang hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap bayangan yang berada di tempat terbuka. Dalam keremangan bulan yang masih memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar dapat melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Ia hampir pasti bahwa perempuan itu adalah Rara Wilis, sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak bertubuh kurus tinggi.

Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali. Tetapi ketika ia hampir saja melompat mengejar bayangan itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.

Terasa ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang sakit, ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu Dandanggula yang baru saja didengarnya, segera teringat pulalah ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika ternyata laki-laki itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang tampak seperti membara di keremangan malam. Tahulah Mahesa Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan pemiliknya. Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan Ki Ageng Pandan Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong, diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.

Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di hatinya.

Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.

Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik kepada wajah Rara Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis cantik itu ketakutan mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya, sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara para pengawal dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa Ijo. Juga terbayang dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara Wilis seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan tamasya yang tak akan terlupakan. Juga pada saat terakhir dimana ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin.

Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya.

Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar, dapat merasakan kesedihan Mahesa Jenar sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk membunuh, merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah merasakan tali batin yang pernah menjeratnya.

Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat apa-apa ketika ia menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang hampir tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang membawa Rara Wilis itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun dengan agak ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya, “Tuan, kenapa Tuan tidak bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan Tuan?”

Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta menjawabnya, “Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya.“

“Siapakah orang itu, Tuan?” tanya Sagotra ingin tahu.

“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.

“Ki Ageng Pandan Alas…?” ulang Sagotra terkejut. “Jadi dialah orangnya yang mempunyai kesaktian sejajar dengan Ki Pasingsingan? “

Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra dengan penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa diketahui oleh orang seperti Mahesa Jenar.

“Kenapa Rara Wilis ia ambil?” tanyanya lebih lanjut. “Adakah hubungan antara mereka? “

“Aku tidak tahu, Sagotra,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi yang aku ketahui adalah Rara Wilis membawa keris Sigar Penjalin.”

“Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas,” potong Sagotra.

“Ya,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi Rara Wilis mengatakan, bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang bernama Ki Santanu.” Dan tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada nama yang disebutkan Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di sana bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali keinginannya untuk bertemu dengan orang itu. Sebab darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra, “Sagotra, marilah antarkan aku kepada Ki Ardi.”

“Masih adakah gunanya?” sahut Sagotra.

“Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana,” jawab Mahesa Jenar.

Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan ke arah selatan menuju rumah Ki Ardi.

Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-bintang di langit tidak mampu menyibakkan gelapnya malam.

Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang tampaknya sudah agak biasa berjalan di daerah ini, berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.

Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati arah api yang masih menyala-nyala.

Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit kapur yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung menampakkan diri, tetapi dari jarak beberapa depa mereka masih berdiri di semak-semak. Dari situlah mereka menyaksikan tempat kediaman Ki Ardi, serta Ki Ardi sendiri yang pada saat itu sedang berada disamping api yang menyala nyala, sedang memahat sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari sebuah goa di bukit kecil itu, yang langsung menghadap ke batu besar yang sedang dipahatnya. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu yang besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang tampaknya sedang marah. Kepalanya menengadah ke atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya yang runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang ekor naga itu terurai ke belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di depan ular yang sedang marah itu, tampaklah dua ekor yang tak kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau itu tampak tajam menakutkan.

Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-pahatan batu serta patung-patung yang bagus buatannya di kota-kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya. Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga pahatan itu dapat mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang itu sejelas-jelasnya. Mereka yang menangkap pahatan itu segera akan dapat merasakan, bahwa seolah-olah sebentar lagi akan terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua ekor harimau yang ganas.

Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat mengenal betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat itu tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur melawan dua ekor harimau. Tidak nampak olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau itu telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.

Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama. Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu, mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya ia meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.

Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.

“Nagasasra Sabuk Inten…?” desis Mahesa Jenar.

Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.

Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan. Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari perbendaharaan Kerajaan Demak.

Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra. Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar sekali.

Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.

Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk memberi keterangan tentang kedua keris itu.

Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.

Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.

Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat. Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.

Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, ”Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.”

Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja, tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan ketakutan. Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.

Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata, ”Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak.”

Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar, “Tuan, apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?”

Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya, “Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan terhadap Bapak.”

Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.

Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.

Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu. Katanya, “Bapak…, yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang Bapak buat itu.”

Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar, jawabnya, “Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan?”

“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, ” Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? “

Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati dengan seksama. Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah. “Pahatanku sudah hampir selesai. Apa yang tadi tuan tanyakan?”

“Pahatan itu….” Mahesa Jenar menjawab, ”Apakah yang sedang Bapak pahat?”

“Tidakkah Tuan tahu…” kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra. “Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”

“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat

“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.

“Maksudku,” jawab Mahesa Jenar. ”apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang pernah Bapak lihat sebelumnya?”

Orang tua itu semakin heran, tanyanya, “Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”

Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja merahasiakan. Maka, akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata, “Tidak… Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor naga yang sedemikian?”

Tampaklah Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum. “Belum, Tuan. Aku belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”

Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.

“Tuan…,” katanya kemudian, “Silakan Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini.”

Dengan tiada menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang dimakan api.

“Tuan,” Ki Ardi sambil memahat mulai berceritera. “Naga ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa disusahkan oleh seorang putrinya. Putri itu jatuh cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya.

Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.

Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya.

Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang beracun. Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu tidak membiarkannya. Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di udara. Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut naga bersisik emas itu.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa”

Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi pahatannya.

Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut. Katanya, “Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata tuan tentang ini?”

Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab, “Bagus, Ki Ardi.“

Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, “Baru sekarang aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”

Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia menjawab sekenanya saja, “Bagus, Ki Ardi.“

Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra. “Apa yang bagus?“

Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah. “Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini.”

Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh, lanjutnya, “Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati ditelan nagaku ini.”

Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. “Orang tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek”

Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang lain. Katanya kemudian, “Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu“

Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar. Bahkan ia berkata terus, “Ki Ardi, aku lebih suka mendengar dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu.“

Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”

Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban, akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab, “Ki Ardi aku dan Sagotra secara kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”

Ki Ardi mengangguk-angguk kecil, katanya melanjutkan, “Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini”

“Ki Ardi,” potong Sagotra tidak senang, ”jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik.”

Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut-takut juga. Maka katanya membetulkan, “Maaf Sagotra… maksudku bukan tidak baik, aku hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja ceriteraku.”

Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia melanjutkan ceriteranya. “Kedua ekor naga itu, yang telah berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai lawannya. Karena itu pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi menjadi ketakutan. Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi di seluruh permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi itu pun menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari selalu menangis saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan putri itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa menunggu saja akan kesudahan pertempuran yang maha dahsyat antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor naga yang dimintai bantuan.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan masih belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula.

Maka pada hari yang ke 101, dengan tidak disangka-sangka menghadaplah seekor naga yang amat sederhana, ke hadapan raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilat-kilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata kepada raja, ”Paduka yang memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta diperkenankan membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur melawan laki-laki yang berasal dari bintang kemukus.”

Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka dengan senang hati, naga itu langsung menuju ke medan pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti sejenak.

Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga yang bersisik emas, ”Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?”

Naga itu menjawab, ”Saudaraku, aku datang untuk membantumu.”

Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa tidak senang. Lalu katanya, ”Saudaraku hanyalah mereka yang dapat menunjukkan tanda kebesarannya.”

Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu, ditambah lagi laki-laki dari bintang kemukus itu memakinya pula. ”Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta dalam permainan ini…?”

Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jwabnya, ”Terserahlah kata-kata kalian atas diriku. Tetapi aku ingin menunjukkan pengabdianku.”

”Kalau demikian” kata naga bersisik emas, ”kerjakanlah itu sendiri.”

Ya,” sahut naga yang bersalutkan intan, ”kerjakanlah itu sendiri.”

”Baiklah,” jawab naga yang kehitam-hitaman, ”Silakan kalian beristirahat.”

Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah marahnya laki-laki bintang yang merasa dirinya sangat sakti. Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga hitam itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi apa yang disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat sekali dan dengan sekali menggerakkan ekornya kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung sampai pecah berserakan.

Laki-laki bintang itu terkejut menyaksikan hal yang demikian. Tetapi ia pun tidak kurang saktinya. Segera kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang sedang berkeliaran di langit. Maka dengan sekuat tenaga, guruh itu pun dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu melihat guruh yang dengan suara gemuruh mengarah ke kepalanya, segera menyemburkan angin kencang dari mulutnya, sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah laki-laki bintang itu. Hanya karena kecepatannya menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri. Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang merasa dirinya tak terkalahkan itu menjadi marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta kepandaiannya yang terakhir untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera terjadilah pertempuran yang tak terkira dahsyatnya. Tidak hanya lautan menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi terbakar. Lautan mendidih serta gunung-gunung terlempar berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk dijadikan senjata.

Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi itu. Pada hari yang ketujuh, pertempuran itu bertambah seru dan cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah mengalami perkelahian 100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi tenaganya masih tetap segar. Sekarang ia baru tujuh hari bertempur melawan seekor naga yang dikatakannya sebagai sebatang pohon yang roboh saja, namun ia merasa bahwa tenaganya telah mulai kendor. Ia telah mencoba mengerahkan segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya. Sekali waktu ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya yang kokoh kuat itu, diputarnya naga itu di udara, sehingga menimbulkan angin putaran yang luar biasa. Baik di darat maupun di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang terangkat dan terlempar bertebaran. Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal. Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba menyala-nyala, sehingga ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas, terpaksa naga itu dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu lingkaran api berputar-putar di udara. Sebentar kemudian berubahlah naga itu menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung menghantam lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak kebingungan. Maka segera ia menghindar dengan terjun ke dasar Samodra. Namun api-api itu pun menyusulnya ke dasar samodra, dengan api masih tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya. Segera laki-laki itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara. Naga itu juga tetap mengejarnya.

Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di belakangnya, sehingga akhirnya laki-laki bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga hitam yang dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada api yang keluar dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih berbahaya dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang berbalut intan permata.

Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera laki-laki bintang itu pun terbang lebih tinggi, dan akhirnya lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu bintang kemukus.

Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga hitam itu merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera ia turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah kiranya kedua naga itu mengaku sebagai saudara.

Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua ekor naga itu sudah tidak ada lagi.

Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja bumi untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor naga itu sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah hampir pulih kembali. Orang-orang sudah tidak lagi ketakutan. Agak berbanggalah hatinya kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya sebagai pahlawan yang berhasil mengusir laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab ia merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah amal pengabdian semata.

Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya waktu ia melihat upacara penyambutan yang luar biasa. Ia bahkan menjadi malu dan kaku.

Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi di luar pengetahuan kami, seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah menghinakan engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga mereka merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir laki-laki dari bintang itu.

Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia sedang berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh kebesaran.

Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua yang indah sekali, yang berdinding emas dan bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa kanak-kanak.

Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.

KI ARDI menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan duduknya sambil kembali mengamat-amati pahatannya, seolah-olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk pahatannya serta isi ceriteranya.

Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia gemar juga mendengarkan dongeng tentang kesaktian-kesaktian. Karena itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum melanjutkan ceriteranya, ia berkata, “Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-mutus ceritera itu.”

Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya, “Sabarlah Sagotra, pastilah ceritera itu aku lanjutkan…. Nah dengarlah baik-baik.“

“Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan untuk mengharap pada suatu saat bertemu kembali dengan kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya mengaku bersalah terhadapnya.

Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia mendengar kabar bahwa terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah karena mereka berebut untuk mendapatkan putri baginda yang pernah jatuh cinta pada laki-laki bintang kemukus. Sedemikian hebatnya perebutan itu sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-malu lagi mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk mencapai maksudnya. Sehingga memang kadang-kadang terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka. Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan untuk memusnahkan sekalian bangsawan dan kesatria, malahan kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang untuknya.

Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang bersalut intan memang sebenarnya pergi meninggalkan kerajaan bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah dan tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari masalah-masalah lahiriah. Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi lawan yang cukup sakti, bahkan tidak berguna sama sekali.

Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu kerajaan di bawah tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta membujuk kedua ekor naga untuk berpihak kepada mereka masing-masing. Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian yang telah ada pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh naga hitam yang sakti.”

“Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam. Daerah yang sama sekali tak dikenal.”

Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi pahatannya. Sebentar kemudian katanya, ”Nah, pada bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah kelam itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam legam. Ternyata kedua ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun secara kasar. Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama dengan mereka, terjadilah suatu perselisihan. Sehingga akhirnya pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua ekor harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja daerah mereka tidak menguntungkan. Daerah kelam yang penuh rahasia itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi setelah ia terjebak ke dalam daerah itu, sulit bagi mereka untuk mencari jalan keluar.”

Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia telah melahirkan suatu rahasia yang selama ini disimpannya.

Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, “Tidakkah Ki Ardi akan mengakhiri dongeng itu?”

“Mengakhiri…?” tanya Ki Ardi, ”Bagaimana aku akan mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian,”.

“Baru sampai sekian…?” tanya Sagotra heran.

Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika dilihatnya perubahan garis wajah Ki Ardi. Kesan-kesan kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya, yang sejak semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.

Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga masih saja ia mendesak, “Ki Ardi… katakanlah akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula.“

Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-tiba ia berkata sambil berdiri, “Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk sebentar. Kawanilah Tuan ini.“

Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera itu sehingga ia menggerutu tak habis-habisnya. Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak kemudian lenyaplah ia ditelan gelap.

Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi curiga. Tetapi ia sama sekali tak menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka haruslah ia bersiaga.

Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga belum muncul. Kecurigaan Mahesa Jenar semakin bertambah. Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang penakut, yang selalu diliputi oleh perasaan was-was dan curiga…?

Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya masalahnya yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri dan memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut. Karena tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi. Tampaknya telah pula Sagotra terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan, segera Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa. Dan sejenak kemudian ia pun telah lenyap ditelan gelap.

Maka, saat itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala. Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.

Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.

Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap. Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam.

Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.

Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring. “Mahesa Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”

Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.

Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.

“Kalau begitu,” katanya tergagap Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas.”

“Ya…,” jawab orang itu, ”sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu. Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya”

Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya. “Mahesa Jenar, aku masih belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”

“Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.

Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu.

Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong Campur. Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit. Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu.

Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh tanggung jawab.

Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. “Orang itu gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.”

“Tuan…” katanya kepada Mahesa Jenar, “orang itu tidak ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu sedang kambuh gilanya, rumah ini sering ditinggalkan begitu saja sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu datang lagi.”

“Sudahlah Sagotra,” jawab Mahesa Jenar “janganlah kau pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan dengan caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita sendiri, masalahmu dan masalahku.”

Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga membelitlah kembali kegelisahan hatinya.

“Sagotra,” kata Mahesa Jenar melanjutkan, “apakah kau akan kembali kepada kawan-kawanmu ?. Kalau demikian pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat. Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan kepada kawan-kawanmu apakah tidak.“

Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang dipikirkannya setiap segi yang mungkin menguntungkan dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali kedalam gerombolannya. sedangkan kalau tidak lalu kemanakah ia akan pergi ?. Setelah Sagotra berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar, terasalah betapa miskinnya hidup dalam sarang gerombolan. Meskipun ia tidak pernah merasakan kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi ternyata bukanlah itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Karena itu, timbulah keinginannya untuk dapat menemukan suatu kehidupan baru.

“Tuan,” katanya kemudian, “sebenarnya aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali kepada gerombolanku. Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai penghidupan baru. Atau barangkali kalau tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi.“

Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Sudah wajarlah kalau Sagotra merasa canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima Sagotra selalu bersamanya. Sebab banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti oleh orang lain, yang harus dikerjakan.

Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat menolong menemukan jalan keluar. Katanya “Sagotra, kau tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah tahu pasti akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan keluar yang barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau menghendaki jalan keluar dari penghidupanmu yang hitam sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah kau ?”

Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak dapat berkedip. Permintaan Mahesa Jenar untuk menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu dijawabnya kemudian “Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku lakukan dengan sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah katakankah tuan.”

“Sagotra,” kata Mahesa Jenar selanjutnya “tolonglah aku menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang akan kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah dimana kau temukan aku tadi, sedikit agak ke utara. Kau akan sampai di sebuah desa di seberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu. Dari sana kau langsung menuju ke arah timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan nama Candi Tara, bekas tempat pemujaan Dewi Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan. Temuilah Demang yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam keselamatanku kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan terakhir tahun ini.”

“Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu kepentingannya. Selanjutnya atas tanggunganku mintalah perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan keluarga Kademangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala ketulusan serta keihlasan hati, pastilah kau akan diterima dengan baik.”

Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu untuk dapat mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan memenuhi permintaan itu sedapat-dapatnya.

Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan telah diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotrapun bersiap untuk menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi dirinya. Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia termasuk tokoh yang ke 6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang mencegat Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh perjalanan itu, maka iapun tak pula mengenal gentar.

Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai bekal perjalanannya.

Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok pastilah beberapa kawannya sudah mencarinya.

Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa sepinya tinggal seorang diri ditengah padang, dibawah sebuah bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi permintaan Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat itu. Rupanya Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan yang sulit.

Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang yang berair jernih.

Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.

Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.

Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.

Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka mendekati perapian.

Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampaknya amatlah garang-garangnya.

Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.

Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.

Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya. “Ardi…, Ki Ardi…!”

Mahesa Jenar jadi berbimbang hati. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri saja.

Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya. “Ardi…, hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”

Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.

“Orang tua gila.” gerutunya, ”Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”

“Ki Ardi…!” teriak yang tinggi kurus itukemudian, ”Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,”.

Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban.

Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel, katanya, “Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari”

Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.

Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia, “Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”

“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.

Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya, “Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”

“Aku kira,” jawab Mahesa Jenar, ”tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,”

Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.

Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Setelah beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring. “Hai, seluruh rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya. Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”

Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati panjang.

Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka? Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.

Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu saja sudah dapat ditembus. Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk mengepung kembali.

Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan orang ke-3, Seco Ireng orang ke-4, Cemara Aking orang ke5, dan Tembini orang ke-7, langsung menyerang. Ketujuh orang tokoh itu dikurangi Sagotra, merupakan tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang. Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawan-lawannya.

Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing. Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking. Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya. Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa Jenar. Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah. Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi kebebasan geraknya. Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping. Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi mempunyai tenaga cadangan. Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya. Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan. Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak tangan Bagolan. Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula satu demi satu dipunahkan.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.

Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung. Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari segala jurusan.

Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar. Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar memancar dengan cemerlangnya.

Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi terang, akan sulitlah kedudukannya.

Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai bergerak mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori yang tidak kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya. Dalam keadaan gelap, mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan sampai tengah hari saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan gerombolan hitam itu. Terlintas dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar. Adapun cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya mempergunakan segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.

Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga-duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat bahwa orang itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat diduga betapa besar tenaganya.

Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit. Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking.

Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggota-anggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya menghantam mereka dengan kapaknya.

Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.

Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggota-anggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu, senjatanya terlepas dan terpatahkan.

Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk melawan orang berkapak itu. Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan gelanggang dan segera terjun ke lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu. Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang sedemikian banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak juga bahwa ia agak terdesak.

Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu. Maka segera iapun menjadi cemas. Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan saja ketika ia melihat orang berkapak itu terdesak.

Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran menjadi bertambah sempit.

Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata, “Ki Sanak, baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku separo. Disamping itu kita pergunakan setiap kesempatan untuk menghantam lawan.” Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera ia pun menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.

bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*