Nagasasra Sabuk Inten Seri 04 A Karya SH Mintardja
Kembali hati Wadas Gunung terperanjat melihat kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia sekarang kenapa Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak buahnya bersama-sama untuk menangkap satu orang saja. Ternyata buruannya memang bukan orang biasa. Tetapi Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup, sehingga ketika ia melihat sikap Mahesa Jenar dan orang berkapak itu saling membelakang, tahulah ia maksudnya. Untuk mencegah kesulitan-kesulitan selanjutnya, cepat-cepat ia memerintahkan untuk menghantam lawan sebelum mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja bersama. Ia sendiri beserta tokoh-tokoh rombongan itu segera melancarkan serangan-serangan yang berbahaya.
Tetapi karena perubahan keadaan yang demikian cepatnya itu, tidak semua anak buah Wadas Gunung dapat mengikuti jalan pikiran pimpinannya, sehingga dalam pelaksanaannya terjadilah kekacauan. Karena lawan mereka berkumpul pada satu titik, maka ketika mereka akan menyerang bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka, sehingga mereka tidak leluasa mempergunakan senjata masing-masing. Dalam keadaan yang demikian, segera Mahesa Jenar mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Mahesa jenar segara meloncat maju, dan memutar tombak berkaitnya seperti baling-baling. Kemudian dengan gerakan yang sangat mengejutkan lawannya, Mahesa Jenar langsung menyerang beberapa orang yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang tak terduga-duga ini, tak seorang pun sempat mengelak diri, sehingga dalam satu ayunan Mahesa Jenar sekaligus dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa Ijo, dan melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya. Melihat kejadian itu, tergetarlah hati para anggota gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir serentak mereka berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin gerombolan itu cepat bertindak. Serentak mereka berloncatan maju dan dengan dahsyatnya mereka melakukan serangan-serangan balasan. Melihat orang ini tampil, segera Mahesa Jenar menarik diri serta menyesuaikan kedudukannya dengan orang yang bersenjatakan kapak, yang ternyata telah pula memutar kapaknya untuk melindungi dirinya dan sekali-sekali menyambar mereka yang berani mendekatinya.
Dalam siasat perkelahian ternyata Wadas Gunung pun tak kalah cerdiknya. Untuk memecah kerja sama lawannya, segera Watu Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan kedudukan yang lemah. Karena itu berkumpullah tokoh-tokoh mereka untuk menyerang orang berkapak itu bersama-sama. Tetapi maksud ini pun segera diketahui oleh Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang berkapak itu, “Ki Sanak, baiklah kita selalu bergerak, supaya tak dapat mereka patahkan batas diantara kita.”
Kali ini orang berkapak itu pun tidak menjawab, tetapi rupanya ia pun mengerti maksud Mahesa Jenar. Maka ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya kesana-kemari, orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya, meskipun ia tidak selincah Mahesa Jenar.
Melihat perubahan cara bertempur Mahesa Jenar, Wadas Gunung mengeluh dalam hati. Belum lagi rencananya dapat berjalan lancar, ia harus sudah menghadapi keadaan baru. Sehingga kembali timbul kekacauan di barisannya. Kesempatan ini pun dipergunakan oleh Mahesa Jenar dan orang berkapak itu. Dengan deras sekali kapak raksasa itu terayun, dan tiga buah senjata melesat dari tangan pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek dadanya. Disamping itu dengan lincahnya pula Mahesa Jenar mengadakan serangan. Tombaknya mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil melukai dua orang sekaligus. Bahkan dalam serangan berikutnya, pundak Tembini tergores oleh tombaknya sendiri. Mengalami hal itu, Tembini menjadi marah bukan buatan. Matanya merah menyala. Tetapi baru saja ia akan meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau belatinya, mendadak Wadas Gunung yang tidak pula kalah marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali. Mendapat serangan Wadas Gunung dengan penuh kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik diri, meloncat kecil kesamping, dan dengan satu putaran mengait senjata-senjata di tangan Wadas Gunung. Tetapi Wadas Gunung pun cukup siaga. Segera ia menarik kedua tangannya. Sayang bahwa ia agak terlambat sehingga satu dari pisaunya tak dapat dipertahankan sehingga jatuh dari tangannya.
Wadas Gunung adalah seorang pemarah yang keras hati. Bahkan karena marahnya, kadang-kadang ia kehilangan perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata gelap. Dengan sebuah pisau yang masih ada di tangannya, ia meloncat menyerang Mahesa Jenar sejadi-jadinya.
Serangan ini ternyata sangat menguntungkan Mahesa Jenar, sebab belati Wadas Gunung lebih pendek dari tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena itu Mahesa Jenar sama sekali tidak menghindar. Hanya tombaknya yang dijulurkan menanti terkaman Wadas Gunung. Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas Gunung terperanjat. Tetapi ia telah terlanjur meloncat keras sekali. Maka segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak Mahesa Jenar. Tetapi tangan Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru dalam keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya.
Tetapi pada saat terakhir, Bagolan telah berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi bertangkai itu melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa Jenar harus berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat pada saatnya, kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan kegesitannya bergerak. Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak berkait Mahesa Jenar yang sedang berusaha menghindari bola besi itu, sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah suara berdentang senjata beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau belati panjangnya, ujung tombak Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun demikian Wadas Gunung tak dapat membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung tombak berkait itu merobek paha kanannya.
Sambil mengerang kesakitan, Wadas Gunung meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi karena kesakitan yang amat sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kejadian itu rupanya sangat berpengaruh pada semangat bertempur Wadas Gunung. Meskipun ia menyesal sekali tak dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya, tetapi tak adalah yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang berkapak yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah seorang anak buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam hatinya, bahwa anak itu diketemukan pastilah akan dikupas kulit kepalanya. Sebab dalam keadaan yang sedemikian sulit, ia sama sekali tidak menampakkan dirinya.
Dalam keadaan yang demikian tidak ada jalan lain bagi Wadas Gunung kecuali harus menyelamatkan diri, meskipun hanya untuk sementara, sampai dapat tersusun kekuatan untuk membalas dendam. Karena itu segera ia bersiul keras dan dengan segera pula anak buahnya berloncatan mengundurkan diri dari gelanggang perkelahian. Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera mendukung Wadas Gunung, dan dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya. Sementara itu, yang lain berusaha melindungi apabila mereka dikejar.
Melihat lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha mengejarnya. Orang berkapak itu juga tidak.
Pada saat itu, warna langit di sebelah timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta bentuk-bentuk batang-batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang berkapak itu menjadi jelas pula.
Kalau selama ini, kecuali karena gelapnya malam, juga karena Mahesa Jenar tidak sempat mengamati orang berkapak itu, kini ia dapat dengan jelas melihat wajahnya.
Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu masalah yang memukul rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam seperti patung.
Sedang orang berkapak itu, setelah melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar berlari, berdiri seperti acuh tak acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa Jenar memandangnya dengan wajah yang membayangkan keruwetan hatinya, orang berkapak itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Akhirnya, setelah agak tenang hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil berkata, “Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima, sehingga aku terbebaskan dari tangan mereka.”
Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun demikian ia menjawab pula, “Tak usah kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah bahwa kedatanganku membawa suatu masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku menolongmu, itu adalah karena aku takut bahwa masalah kita akan tetap merupakan masalah yang tidak selesai.”
Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya Mahesa Jenar merasa sedikit tersinggung oleh ketinggian hatinya. Tetapi meskipun demikian ia berusaha juga menyabarkannya. Katanya pula, “Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari kekuasaan mereka.”
“Mungkin….” jawab orang itu masih sedingin tadi, “Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau hadapi sekarang,”.
Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun hatinya bergetar hebat. Sampai orang tadi melanjutkan, “Kedatanganku kemari adalah pertama-tama karena seseorang merasa mempunyai pinjaman sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat disuruhnya menyerahkan kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk mengembalikan barang itu kepadamu. Kedua, adalah karena masalahku sendiri. Masalah yang pada saat itu kau putar-balikkan kenyataannya dengan mengumpankan seorang yang sama sekali tak berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang demikian itu kau akan dapat menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan kesombonganmu, menyediakan diri dalam sayembara tanding itu, aku kira kau adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi menghadapi suatu masalah terakhir, kau melarikan diri.”
Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak hebat. Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi seperti mengalirnya sungai yang sedang banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya. Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah termasuk seorang pemarah. Karena itu untuk menahan diri, Mahesa Jenar menekankan giginya sampai gemeretak.
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya, “Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk beristirahat. Aku kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari ini dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu. Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat dibinasakan, maka aku akan tetap menyesali hidupku selama-lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas, kau adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian terakhir yang akan kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar. Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat kenyataan.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam, “Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading. Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan, tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali keinginannya untuk beristirahat. Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja melingkar-lingkar kepada Seruling Gading. Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh…? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu…? Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya. Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi Hati itu akan semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa. Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut yang membelai pantai. Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya. Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa depannya. Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan.
Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
Sementara itu Seruling gading yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya.
Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading. Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading? Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini…?
Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang beterbangan dengan lincahnya.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah Seruling Gading. Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras, “Hai pengecut yang hanya berani menghina dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu…!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya. Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan. “Bagus…, bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya malam.
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk. Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa. “Hai… pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah. Tak perlu kita menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
“Wirasaba…” kata suara itu, “janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak lekas-lekas menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku. Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas batu hitam, tempat ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu. Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka menggeramlah Seruling Gading. “Setan, kau jangan mencoba menolong dirimu, menakuti aku dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun juga aku tetap dalam pendirianku. Menyelesaikan masalah kita dengan laku seorang jantan, sekarang juga.” Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti mengapung di langit, diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin.
Sinarnya yang kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada bulan itu, yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat gelagat itu. Karena itu ia pun segera mempersiapkan diri, meskipun tampaknya ia tidak mengubah sikap duduknya. Bahkan masih dengan tersenyum ia berkata tidak menjawab tantangan Seruling Gading. “Wirasaba…, maafkan kalau aku meminjam serulingmu tanpa izinmu. Sebab aku tidak mau mengganggu membangunkan kau, nampaknya kau terlalu nyenyak tidur. Mungkin kaupun sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh serta permainan pagi tadi yang sama sekali tak menyenangkan.”
“Cukup!” bentak Wirasaba. “Jangan kau coba lagi merendahkan aku. Sebaiknya kau jangan terlalu yakin akan kehebatanmu dengan mengalahkan Samparan dan Watu Gunung, serta dengan pertunjukanmu pagi tadi. Sebelum kau mampu melenyapkan diri dalam satu kedipan mata, jangan kau merasa dirimu tak terkalahkan.
Sekarang bersiaplah kau. Ambillah senjatamu, tombak berkait yang kau pergunakan pagi tadi. Biarlah kita lihat bersama bagaimanakah akhir persoalan kita.”
Mahesa Jenar melihat bahwa kemarahan Seruling Gading telah mencapai puncaknya. Meskipun demikian ia masih ingin berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Baru kalau usahanya gagal ia akan melaksanakan rencananya.
“Wirasaba…” katanya, “baiklah tawaranmu aku terima, tetapi tidakkah kau ingin mendengarkan dari mulutku keterangan-keterangan yang barangkali belum pernah kau dengar sebelumnya?”
“Ha…?” teriak Wirasaba, “alangkah pengecutnya kau. Dengan pembelaan-pembelaan itu kau ingin menghindari penyelesaian secara jantan. Kau barangkali ingin menjelaskan bahwa kau sama sekali tak mempunyai pamrih apa-apa dengan memasuki sayembara tanding itu. Kau tentu akan berkata, bahwa karena kau adalah sahabat mertuaku Ki Asem Gede. Tetapi pasti kau tidak mengatakan bahwa kau takut menghadapi cara penyelesaian seperti yang aku maui. Juga kau pasti tidak akan mengatakan bahwa kau telah mengumpankan Samparan untuk membersihkan namamu, setelah kau tak berani menerima tawaranku.”
“Wirasaba…” potong Mahesa Jenar. “Bagaimana aku sempat mengumpankan Samparan, sedang saat itu aku selalu berada di hadapanmu?”
“Ooo….” jawab Seruling Gading, “tidakkah ada pencuri yang berhasil mengambil milik orang lain di hadapan orang itu sendiri…?”
Sampai sekian Mahesa Jenar yakin bahwa Seruling Gading tidak lagi dapat diajak berunding. Karena itu kemungkinan yang lain adalah, menyelesaikan menurut rencananya.
Maka katanya, “Wirasaba yang digelari orang Seruling Gading… kau adalah orang yang perkasa dengan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada kekuatan orang biasa. Seseorang yang belum pernah melihat kau mengayunkan kapakmu pun tentu dapat menduga yang demikian itu, dengan menilik senjatamu yang mempunyai ukuran terlalu besar bagi senjata umumnya itu telah menunjukkan betapa tinggi hatimu. Kau adalah orang yang tidak dapat mendengarkan keterangan orang lain selain mendengarkan angan-anganmu sendiri. Tetapi, Wirasaba, ketahuilah bahwa bagaimanapun perkasanya kau, jangan kau menepuk dada serta menyangka bahwa aku tidak berani menerima tantanganmu pada saat itu. Dengarlah, apa yang dapat dilakukan oleh seorang yang lumpuh seperti kau pada waktu itu? Apa pula arti keperkasaanmu dengan hanya mampu duduk di pinggir ranjang….?” Belum lagi Mahesa Jenar selesai dengan kata-katanya, Wirasaba sudah tidak dapat menahan diri lagi. Darahnya sudah bergelora membakar kepalanya. Karena itu dengan tidak mengucapkan sepatah katapun, serta dengan menekan giginya, dihimpunnya segala kekuatannya. Dan dengan dahsyatnya ia berteriak. Bersamaan dengan itu, kapak besar itu terangkat dan dengan derasnya terayun mengarah kepala Mahesa Jenar yang masih saja duduk di atas batu hitam itu. Memang Wirasaba benar-benar memiliki tenaga raksasa. Ayunan kapak yang dilambari kemarahan itu, menimbulkan suara berdesing yang hebat sekali, sehingga seolah-olah bunyi sangkakala yang memberi pertanda bahwa dewa maut akan melakukan kewajibannya.
Tetapi sementara itu Mahesa Jenar telah siap pula. Memang ia menunggu-nunggu saat yang demikian itu. Saat kemarahan Wirasaba mencapai ke puncaknya.
Maka ketika kapak itu dengan cepatnya mengarah kepalanya, iapun segera meloncat selangkah ke samping, sehingga kapak itu tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya Wirasaba menghantamkan senjatanya, maka ketika kapak itu tak mengenai Mahesa Jenar, terhantamlah batu hitam yang semula dipakai sebagai tempat duduknya. Dan ternyatalah betapa besar kekuatan Wirasaba. Dalam benturan itu, berderailah bunga-bunga api. Serta bertebaranlah pecahan-pecahan yang dilemparkan dari luka batu hitam itu, yang ditimbulkan karena hantaman kapak Wirasaba, meskipun bagaimana kerasnya batu itu.
Melihat luka di atas batu hitam itu, Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Tetapi sementara itu sampailah ia kepuncak permainannya. Ia ingin menaklukkan ketinggian hati Seruling Gading dengan sebuah pertunjukan yang tidak kalah seramnya. Dalam waktu yang sekejap itu, segera ia mengatur jalan pernafasannya, memusatkan perhatian serta kekuatannya di sisi telapak tangan kanannya. Segera disilangkannya tangan kirinya di muka dada. Satu kakinya diangkat ke depan serta tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi. Sejenak kemudian dengan garangnya ia meloncat ke depan batu itu, dan sebelum Wirasaba menarik kapaknya, segera Mahesa Jenar menyusul menghantam batu hitam itu dengan tangannya yang dilambari dengan ilmu Sasra Birawa. Alangkah dahsyat akibatnya. Batu hitam yang sedemikian kerasnya, yang terluka tak sampai sejengkal oleh pukulan kapak Wirasaba dengan tenaga raksasanya, pada saat itu, dengan bunyi yang mengejutkan pecah berserakan karena sisi telapak tangan Mahesa Jenar.
Wirasaba terkejut bukan alang kepalang, sampai tanpa disengaja ia terloncat surut serta kapaknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya menggigil serta jantungnya berdegupan tanpa dapat dikuasainya. Sampai beberapa saat ia berdiri termangu seperti kehilangan kesadaran, dan tak mengerti apa yang harus dilakukannya, karena ia telah melihat suatu kejadian yang sama sekali tak dapat dibayangkan sebelumnya.
Demikianlah sampai beberapa saat Wirasaba berdiri kaku, sampai tiba-tiba terasa pundaknya ditepuk orang. Dengan geragapan ia memandang kepada orang itu, yang tidak lain adalah Mahesa Jenar yang membangunkannya sambil berkata, “Tenanglah hatimu Wirasaba. Itu tadi hanyalah suatu permainan yang jelek.”
Wirasaba masih belum memiliki seluruh kesadarannya, sehingga ia tidak dapat menjawab kata-kata Mahesa Jenar, kecuali memandangnya saja dengan pandangan yang berputar-putar kebingungan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata sambil menuntunnya duduk di atas sebuah gundukan tanah. “Wirasaba…, lupakan semua yang telah terjadi. Marilah kita bercakap-cakap sebagai sahabat yang telah beberapa hari tidak bertemu. Bukankah kau dapat banyak berceritera tentang Ki Asem Gede, Kakang Dalang Mantingan, Kakang Demang Penanggalan serta sahabat-sahabat lain di Pucangan dan Prambanan…? Sesudah itu aku juga banyak sekali mempunyai ceritera yang barangkali menarik hati.”
Seperti kanak-kanak yang dibimbing ibunya, Wirasaba sama sekali tak menolak. Ia menurut saja kemana Mahesa Jenar menuntunnya, serta seperti orang bermimpi pula ia duduk disamping Mahesa Jenar.
Ketika sampai beberapa saat Wirasaba masih berdiam diri, kembali Mahesa Jenar bertanya, “Wirasaba… siapakah yang memberitahukan kepadamu serta Ki Asem Gede bahwa aku berada di sini?”
Kini lamat-lamat Wirasaba telah dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar serta telah dapat mengerti. Tetapi meskipun demikian ia masih belum juga dapat menjawab, sebab ia baru mengumpulkan kembali ingatan-ingatan atas kejadian-kejadian yang baru saja berlalu. Wirasaba adalah seorang tinggi hati yang dalam perbendaharaan pengalamannya selalu dipenuhi dengan kejadian-kejadian dahsyat di masa mudanya, serta keunggulan kekuatan atas hampir terhadap semua lawan-lawannya. Sampai ia dipisahkan dari cara hidupnya itu oleh racun-racun yang melumpuhkan simpul-simpul saraf kakinya. Tetapi meskipun dalam keadaan lumpuh, masih saja ia merasa keperkasaannya tidak berkurang. Sehingga suatu ketika sampailah saatnya kakinya dapat sembuh kembali. Dengan demikian ia semakin merasa dirinya akan dapat mengulangi peristiwa kemenangan demi kemenangan yang pernah dicapainya. Apalagi pada saat itu ia menghadapi suatu peristiwa yang menurut pendapatnya adalah suatu hinaan bagi sifat kejantanannya. Kehadiran Mahesa Jenar yang telah membebaskan istrinya dari tangan Samparan, diterimanya dengan pengertian yang salah. Ketika seseorang yang bernama Sagotra datang kepada mertua Wirasaba dan mengabarkan bahwa Mahesa Jenar berada di daerah Pliridan, maka maksud Wirasaba untuk membuat perhitungan tak dapat dikekang lagi, meskipun kakinya baru saja sembuh dan belum pulih kembali seperti sediakala.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia telah dapat bertemu dengan orang yang dicarinya itu, disaksikannya suatu peristiwa yang bermimpipun belum pernah diangankan. Hanya dengan telapak tangan saja, batu hitam sebesar itu dapat dihantam hancur. Bagaimanakah jadinya kalau yang dikenai sisi telapak tangan itu kepalanya?
Maka menghadapi peristiwa itu, rontoklah sifat tinggi hatinya. Mendadak tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Wirasaba berdiri serta membungkuk hormat. “Siapakah sebenarnya Tuan yang telah membingungkan perasaanku?”
Sambil tersenyum, Mahesa Jenar menunduk hormat pula. Lalu jawabnya, “Sebagaimana kau ketahui, aku adalah Mahesa Jenar.”
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bahwa ia sama sekali tidak puas dengan jawaban itu. Sebab orang yang dapat berbuat demikian pastilah orang yang sudah punya nama. Karena itu ia memberanikan diri untuk mendesak, “Tuan, tetapi barangkali Tuan mempunyai sebuah gelar lain yang dapat memperkenalkan diri Tuan…?”
Mahesa Jenar ragu-ragu sejenak. Adakah untungnya kalau disebutkannya gelar keprajuritannya? Tetapi kemudian ia berpikir, barangkali dengan demikian ia dapat mengurangi kepahitan yang baru saja dialami oleh Wirasaba. Sebagai seorang yang tinggi hati, pastilah Wirasaba akan menderita batin untuk seterusnya kalau ia sampai dapat dikalahkan oleh orang yang tak bernama. Karena itu, jawabnya, “Wirasaba…, ketahuilah bahwa sebenarnya akulah yang bernama Rangga Tohjaya.”
Mendengar nama itu, membersitlah warna merah di wajah Wirasaba, serta jantungnya berdegup keras. Pantaslah kalau yang dapat berbuat sedemikian dahsyatnya itu adalah orang yang bergelar Rangga Tohjaya. Karena itu kembali ia membungkuk hormat sekali. Serta dengan suara yang berat penuh penyesalan ia berkata, “Tuan Rangga Tohjaya yang perwira, maafkanlah segala kelancanganku. Karena Tuan telah berbuat kemurahan hati untuk membebaskan istriku. Maka berdosalah aku, yang telah berani menuduhkan hal yang sama sekali tidak wajar kepada Tuan.” Karena itu aku serahkan diriku kepada Tuan untuk menerima hukuman apapun yang Tuan kehendaki,
Kembali Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “Wirasaba… tidaklah ada hukuman yang pantas aku berikan kepadamu. Sebab wajarlah kalau seseorang dalam perjalanan hidupnya suatu kali mengalami keterlanjuran. Hanya pengalaman yang demikian itulah yang dapat menjadi peringatan. Bahwa untuk selanjutnya kita harus lebih hati-hati dalam tiap-tiap tindakan kita. Tetapi selain dari itu semua, tadi kau katakan bahwa kau mendapat suatu titipan dari seseorang. Apakah itu?”
Wirasaba menjadi seperti tersadar. Jawabnya cepat, “Tuan, aku mendapat titipan dari mertuaku Ki Asem Gede. Sebuah bumbung kecil yang aku tidak tahu isinya.” Sesudah berkata demikian segera Wirasaba mengambil bumbung dari kantong ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada Mahesa Jenar.
Segera bumbung itu pun diterima oleh Mahesa Jenar, serta ketika dilihat isinya, betul bahwa yang di dalamnya adalah biji bisa ular yang telah dipinjamkan kepada Ki Asem Gede.
“Wirasaba..”. katanya kemudian, “tidakkah Ki Asem Gede mengatakan kepadamu, apakah kasiat benda yang kau bawa ini?”
“Tidak Tuan,” jawab Wirasaba sambil menggelengkan kepalanya.
“Ketahuilah,” sambung Mahesa Jenar, ”benda ini adalah biji ular yang sangat keras, yang dapat dipergunakan sebagai obat pemusnah bisa atau racun yang lain. Bagi perjalanan hidup, benda ini sangat penting artinya, sebab dengan benda ini pula Ki Asem Gede telah berhasil menyembuhkan kelumpuhanmu,”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar ini, Wirasaba kembali terkejut. Ditambah pula dengan perasaan haru yang mendalam. Ternyata atas pertolongan Rangga Tohjaya ini pula kelumpuhan kakinya itu disembuhkan. Mengingat hal itu semua, semakin dalamlah penyesalan yang dirasakannya.
Sementara itu Mahesa Jenar telah mengajukan pula beberapa pertanyaan mengenai Ki Asem Gede. Kademangan Pucangan serta Prambanan, dan banyak hal mengenai orang-orang yang pernah dikenalnya. Karena itu sebentar kemudian pembicaraan telah dapat berlangsung lancar. Dari pembicaraan itu diketahui, ternyata sepeninggal Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan pun segera kembali ke Prambanan. Dan menurut Wirasaba yang mendengar dari Ki Asem Gede, bahwa orang yang bernama Mantingan itu telah kembali ke Wanakerta.
Setelah pembicaraan mereka berlangsung beberapa lama, berkisar dari yang satu ke yang lain, maka berkatalah Mahesa Jenar, “Nah, Wirasaba, marilah kita anggap bahwa apa yang pernah terjadi itu merupakan suatu mimpi yang tak menyenangkan. Dan sekarang ternyata kita telah bangun dan melupakan mimpi itu. Karena itu kembalilah kepada istrimu seperti pada masa kau datang untuk mengambilnya dahulu.”
“Baiklah Tuan…, aku akan kembali kepada keluargaku, serta mengatakan apa yang sudah aku lihat,” jawab Wirasaba.
“Sekarang,” sambung Mahesa Jenar, “Marilah kita beristirahat. Besok kita akan melakukan tugas kita masing-masing. Kau akan kembali kepada keluargamu, sedang aku masih dinanti oleh suatu tugas berat.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, Wirasaba termenung sejenak. Lalu katanya, Kalau Tuan masih harus melalukan tugas berat, dapatkah kiranya aku membantu?
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Wirasaba…, bagaimanapun beratnya, tetapi aku tak dapat membagi pekerjaan itu dengan orang lain. Karena itu dengan menyesal aku tak dapat menerima tawaranmu.
Wirasaba menjadi terdiam. Tugas apakah yang sedang dihadapi Mahesa Jenar? Tetapi karena Mahesa Jenar sendiri telah menyatakan keberatan atas tawarannya, maka ia pun tidak berani lagi mendesak.
Maka, sejenak kemudian Mahesa Jenar telah berdiri, sambil melangkah ia berkata, “Selamat malam Wirasaba, beristirahatlah. Kalau kau mau, tidurlah di dalam goa bersama aku. Besok kita bisa menuai jagung. Dan sesudah itu kita berangkat dengan tujuan masing-masing.”
Segera Wirasaba pun berdiri, serta berjalan mengikuti Mahesa Jenar, masuk ke dalam goa, untuk bersama-sama beristirahat, sebelum esok paginya mereka masing-masing akan menempuh perjalanan yang cukup berat.
Bagi Mahesa Jenar, adalah sebaik-baiknya segera meninggalkan tempat itu. Sebab apabila Wadas Gunung beserta kawan-kawannya sampai dapat mencapai sarangnya, sebelum ia meninggalkan tempat itu, mungkin untuk selama-lamanya ia tidak akan lagi dapat pergi. Karena tidaklah mustahil kalau Pasingsingan sendiri akan melakukan pembalasan.
Maka, ketika ayam hutan pada fajar pagi harinya mulai berkokok, Mahesa Jenar pun segera bangun. Wirasaba bangun pula. Sejenak kemudian ketika sudah mulai terang tanah, keduanya berkemas. Tetapi sebelum mereka pergi, Mahesa Jenar bersama Wirasaba memerlukan memenuhi pesan Ki Ageng Pandan Alas untuk menuai jagung di belakang bukit kapur, serta menyimpannya di dalam goa. Mungkin pada suatu saat Ki Ageng Pandan Alas akan kembali lagi ke goa itu, atau salah satu dari mereka pada suatu kali akan mengunjungi tempat itu.
Ketika semuanya sudah selesai, maka yang pertama-tama siap untuk berangkat adalah Wirasaba. Atas permintaan Mahesa Jenar, Wirasaba membawa bekal beberapa ontong jagung.
Sesudah sekali lagi Wirasaba minta maaf serta menyatakan terima kasihnya, maka segera ia pun berangkat ke timur, kembali kepada keluarganya dengan perasaan yang seolah-olah baru sama sekali.
Sepeninggal Wirasaba, segera Mahesa Jenar pun ingat akan tugasnya. Maka tanpa disengaja, ia berdiri di atas sebuah gundukan tanah sambil memandang ke arah barat, ke arah hutan Mentaok yang pekat oleh pepohonan liar, dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Pohon-pohon raksasa serta pohon-pohon yang membelit. Meskipun masih agak jauh, tetapi lamat-lamat hutan yang liar itu telah tampak sebagai suatu tabir yang di belakangnya tersembunyi banyak sekali rahasia dan bahaya. Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak pernah takut untuk menghadapi bahaya yang bagaimanapun besar. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia bisa memperhitungkan tindakan-tindakannya. Apa yang harus diusahakannya sekarang adalah membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan Sima Rodra. Sebelum itu berhasil, harus dihindari kemungkinan-kemungkinan yang akan menggagalkan usahanya.
Bahaya yang paling besar yang dihadapinya, apabila ia menempuh hutan itu adalah kemungkinan bertemu dengan Pasingsingan. Sebab bila ia bertemu dengan orang itu, pastilah ia tidak akan dapat melepaskan diri. Bahkan tidak mungkin baginya untuk dapat bertahan menghadapi tokoh yang terkenal itu.
Karena itu timbul pikiran dalam diri Mahesa Jenar untuk menempuh jalan lain. Ia bisa pula mengambil jalan utara. Lewat hutan Turi di kaki Gunung Merapi. Lalu sesudah itu akan dilaluinya lapangan batu-batu yang luas. Konon daerah ini telah pernah dilanda banjir batu yang dimuntahkan dari Gunung Merapi, sehingga merupakan daerah yang sama sekali tak dapat ditumbuhi pepohonan. Karena itu daerah ini biasa disebut Ngentak-entak. Dari sana akan sampailah perjalanan itu ke daerah hutan di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Dan apabila ia mendaki sedikit lambung Gunung Merbabu itu, akan sampailah ia di daerah Parangrantunan. Dari sana ia harus turun dan berjalan ke barat agak ke selatan. Meskipun perjalanan melewati daerah ini pun harus menerobos rimba-rimba yang tak kalah dahsyatnya dari alas Mentaok, tetapi kemungkinan untuk bertemu dengan Pasingsingan adalah tipis sekali.
Maka, setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengambil jalan utara, meskipun daerahnya agak lebih sulit. Kecuali hutan-hutan yang cukup lebat, juga harus didaki tebing-tebing yang curam serta harus dituruni lembah-lembah yang terjal.
Setelah tetap hatinya, maka dengan berbekal beberapa ontong jagung, Mahesa Jenar segera berangkat. Tidak ke barat, tetapi ke utara, untuk menghindari kemungkinan rintangan-rintangan yang akan dapat menggagalkan usahanya.
Saat itu, matahari telah cukup tinggi. Sinarnya telah terasa hangat mengenai tubuh. Tetapi meskipun demikian, burung liar masih bersiul ramai, seolah-olah menyatakan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar yang sedang memulai kembali perjalanannya untuk menemukan pusaka yang lenyap dari perbendaharaan Kraton Demak.
Namun demikian pikirannya masih saja terganggu oleh kata-kata Samparan, bahwa yang sedang diperebutkan oleh golongan hitam itu adalah keturunannya saja dari keris Nagasasra dan Sabuk Inten, jadi bukan keris aslinya. Kalau demikian, bila Sima Rodra benar-benar menyimpan keris itu, adalah hanya keturunannya saja, ataukah aslinya seperti yang digambarkan oleh Ki Ageng Pandan Alas…? Sebab, dalam hal ini, dua tokoh ternama ternyata mempunyai pendapat yang berbeda tentang Keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Pasingsingan menganggap bahwa yang ada di luar Kraton itu adalah keturunannya saja, sehingga ia menyuruh Lawa Ijo untuk mencari pusaka aslinya. Menilik hal tersebut ternyata Pasingsingan tidak mengetahui bahwa pusaka aslinya itu sedang lenyap dari perbendaharaan Kraton.
Demikianlah dengan beberapa pemikiran dan persoalan Mahesa Jenar berjalan dengan cepatnya, dengan satu harapan untuk dapat segera sampai ke tempat tujuannya. Menurut perhitungannya, apabila tidak ada suatu halangan, ia akan sampai ke tujuan kira-kira lima hari empat malam.
Tidak banyak hal-hal yang dialami Mahesa Jenar dalam perjalanannya, kecuali kesulitan-kesulitan melawan alam. Tetapi itu pun satu demi satu dapat diatasinya. Dan hal-hal yang demikian bagi Mahesa Jenar bukanlah merupakan rintangan dibandingkan dengan orang yang bernama Pasingsingan.
Apabila malam tiba, Mahesa Jenar selalu mencari tempat untuk tidur, di atas cabang-cabang pohon untuk menghindari gangguan-gangguan binatang buas. Sedang di siang hari, ia berjalan sejak matahari terbit sampai matahari terbenam.
Maka pada hari ketiga, Mahesa Jenar telah dapat meninggalkan daerah-daerah hutan di lereng Gunung Merbabu, untuk segera sampai ke Pangrantunan.
Tetapi demikian ia sampai ke daerah persawahan Pangrantunan, hatinya segera dikejutkan oleh sebuah panji-panji yang terpancang dengan megahnya, bergambar harimau hitam yang sedang mengaum hebat.
Harimau hitam itu digambar di atas dasar merah darah, pada kain yang dianyam dari serat kulit kayu yang dikemplong halus.
Melihat panji-panji itu segera Mahesa Jenar dapat menebak, bahwa panji-panji itu adalah tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Gerombolan Sima Rodra. Tetapi apakah kepentingannya, panji-panji itu dipasang di tempat ini? Itulah yang menjadi pertanyaan. Apalagi di daerah Pangrantunan.
Menurut keterangan gurunya, Pangrantunan pernah menjadi pusat percaturan para tokoh sakti. Sebab di daerah ini beberapa puluh tahun yang lalu pernah diadakan semacam pertemuan dari beberapa tokoh sakti yang saat ini pada umumnya sudah tidak pernah menampakkan diri lagi. Diantara beberapa tokoh yang pernah mengadakan pertemuan itu adalah Almarhum Ujung Kulon, Pasingsingan, Titis Anganten serta Ki Ageng Pandan Alas. Adapun yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana, yang pada saat itu menjadi kepala daerah Perdikan Pangrantunan.
Sekarang, di bekas daerah yang terkenal itu berkibar panji-panji sebuah gerombolan dari golongan hitam. Ini adalah suatu hal yang aneh. Tidak adakah seorangpun murid Ki Ageng Sora Dipayana yang dapat mempertahankan kebesaran namanya…? Ataukah memang Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengambil seorang murid pun…? Atau barangkali gerombolan Sima Rodra ini sudah merasa demikian kuatnya sehingga berani meremehkan kebesaran Ki Ageng Sora Dipayana…? Hal itu hanyalah mungkin apabila gerombolan Sima Rodra ini seperti juga gerombolan Lawa Ijo, yang didalangi oleh salah seorang dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Tetapi kemungkinan ini adalah tipis sekali. Keberadaan Pasingsingan dalam kalangan hitam telah cukup mengejutkan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas sendiri perlu membayanginya, untuk membuktikan kebenarannya. Apalagi tokoh-tokoh lain, yang tidak seaneh Pasingsingan, pastilah akan semakin menggemparkan.
Karena hal-hal yang mencurigakan itu, maka Mahesa Jenar harus berhati-hati untuk tidak mengalami hal-hal yang merugikan dirinya serta tugasnya. Dengan penuh kewaspadaan ia berjalan selangkah demi selangkah mendekati desa yang berada di hadapannya, yang menurut ingatannya adalah desa Pangrantunan. Dahulu, saat Mahesa Jenar belum lama berguru, pernah diajak gurunya bersama sama dengan Kebo Kenanga menjelajahi hampir seluruh pulau Jawa bagian tengah. Dan pada suatu kali ia pernah diajak pula mampir ke Pangrantunan. Sayang pada saat itu Ki Ageng Sora Dipayana sedang tidak di rumah, sehingga mereka tidak dapat bertemu. Meskipun demikian, oleh gurunya banyak yang diceriterakan tentang orang ini. Tentang keistimewaan-keistimewaannya, serta tentang budinya yang luhur.
Ketika Mahesa Jenar telah mendekati desa itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah, daerah ini telah mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak serapi beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur, bahkan banyak parit yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa sepeninggal Ki Ageng Sora Dipayana, tak ada orang lain, baik keturunannya maupun muridnya yang dapat melanjutkan memelihara kebesaran nama daerah ini. Rupanya Ki Ageng Sora Dipayana setelah memutuskan menarik diri dari pergaulan, sudah tidak menaruh perhatian lagi kepada daerahnya.
Maka, ketika Mahesa Jenar melihat seorang petani tua sedang mencangkul tanah yang tampaknya keras dan tandus, ia memerlukan mendekatinya. Barangkali darinya dapat didengar ceritera tentang sebab-sebab kemunduran daerah ini, serta yang penting panji-panji yang dipancangkan oleh Sima Rodra itu.
Melihat orang asing mendatanginya, maka petani tua itu pun berhenti mencangkul, serta mengawasi Mahesa Jenar dengan saksama. Meskipun pandangan matanya tidak memancarkan kecurigaan, tetapi jelas mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Setelah sampai di hadapan orang itu, segera Mahesa Jenar membungkuk hormat. Orang itu ternyata juga orang yang ramah dan sopan. Karena itu sambil tertawa ia pun membungkuk hormat. Malahan sebelum Mahesa Jenar bertanya, ia sudah mendahuluinya. “Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas memerlukan pertolonganku?” Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak diduga-duga, Mahesa Jenar terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya, “Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan Bapak.”
“Tidak… tidak…” sahut orang itu, ”sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku kerjakan untuk Anakmas?”.
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah ini,” jawab Mahesa Jenar.
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya kemudian, “Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya. Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak…” jawab Mahesa Jenar, ”hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,”.
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak…” sambung Mahesa Jenar, “Apakah Bapak mengetahui mengenai panji-panji yang terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan membayang di wajahnya.
“Keterangan mengenai bendera itu agak panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah mampir ke pondokku sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya air kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan mengenai panji-panji merah itu.”
Sulitlah Mahesa Jenar untuk menolak ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya. Ditambah lagi dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang panji-panji yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan ucapan terima kasih ia menerima ajakannya.
Ternyata rumah orang tua itu tidaklah begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari sawahnya yang tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah gubug yang sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta beratapkan daun ilalang.
Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa Jenar masuk serta duduk di atas balai-balai bambu satu- satunya, di samping sebuah paga dan tlundhak tempat lampu.
“Duduklah Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih, Bapak,” jawab Mahesa Jenar, ”aku senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku sendiri memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat pohon kelapa?”
Orang itu tersenyum, lalu jawabnya, “Meskipun aku sudah tua, tetapi karena tak ada orang lain di dalam rumah ini, jadi aku masih harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat kelapa. Malahan tidak saja mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa pohon.”
“Bapak masih nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.
Orang tua itu mengangguk. Dan karena itu Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua itu masih mampu memanjat pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi orang itu memanjat untuknya.
Sejenak kemudian orang itu sudah kembali masuk rumahnya, dengan membawa dua buah kelapa muda yang sudah diparas serta dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang baru saja berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda itu dengan gembira serta berterima kasih, sehingga dengan sekali minum habislah isi dari sebuah kelapa muda.
Maka setelah Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji itu” orangtua itu mulai bercerita, ”adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh suami-istri yang menamakan dirinya Sima Rodra. Desa-desa yang diberinya panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah menjadi daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah perbekalan Sima Rodra sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka datang untuk memasuki setiap rumah yang ada.” Mahesa Jenar mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian jauh tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak…, ”akhirnya ia bertanya, ”apakah Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing kepadanya?”
“Tidak.” jawab orang tua itu, ”Mereka tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja mereka menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,”
“Jadi, tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya Mahesa Jenar selanjutnya.
Orang tua itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena garis-garis umur itu, tampak semakin berkerut. Jawabnya, “Anakmas, benar apa yang Anakmas katakan. Memang, penduduk di daerah ini seolah-olah tidak mendapat suatu perlindungan dari siapapun. Sebab daerah ini adalah daerah perdikan, yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk pemerintahan dan keamanan serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat diserahkan kepada daerah ini sendiri. Tetapi pimpinan daerah perdikan yang sekarang ini rupanya tidak begitu menghiraukan keadaan rakyatnya.”
“Bukankah daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana?” menyela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab orang tua itu. “Tetapi Ki Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah Pangrantunan ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing diserahkan kepada dua orang putranya. Maksudnya jelas, supaya tidak ada rebutan diantara mereka. Tetapi akibatnya adalah seperti sekarang ini. Daerah Utara yang dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora, yang berkedudukan di Banyu Biru mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi daerah ini, yang dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, dan berkedudukan di Pamingit, mengalami kemunduran dalam hal kesejahteraan rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan, sekarang tidak lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung Gunung Merbabu ini”.
Tampaklah wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya dari desanya ini.
“Bapak…” tanya Mahesa Jenar kemudian, ”apakah Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana?”.
Orang itu tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku di sini adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku sudah banyak mendengar ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai kemunduran daerah ini adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan yang aneh terhadap orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan orang biasa seperti yang tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari seorang petani miskin.
“Anakmas…” orangtua itu melanjutkan, “pada hari ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak. Karena itu, tak seorang pun yang meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia, kedatangan para pemungut pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun yang Anakmas jumpai di sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu menggelengkan kepala. “Aku tak mau,” jawabnya.
Belum lagi mereka habis bercakap-cakap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Orang tua itu tampak agak terkejut. Katanya, “Anakmas, itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak terlibat”
Mahesa Jenar ingin membantah, sebab ia sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman yang demikian itu berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh wibawa orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan Mahesa Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi.
Sebentar kemudian benarlah apa yang dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang yang bertubuh tegap tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan langsung memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu dengan ganasnya diseret keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya. “Panggil seluruh penduduk desa ini…!” teriaknya kemudian. “Suruhlah mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari kedatangan kami.”
Sesaat kemudian anak buahnya telah berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta menyaksikan pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali, tua-muda, laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa berkumpul di halaman rumah petani tua itu. Beberapa orang perempuan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang beberapa orang laki-laki hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah dapat membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia berkata, “Lihatlah, para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang yang dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang untuk pertama kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan meninggalkan rumahnya. Untunglah bahwa ketika kami datang untuk kedua kalinya ia sudah ada di dalam rumahnya, sehingga aku dapat memaafkannya untuk tidak membakar habis rumahnya serta merampas semua miliknya. Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk sedikit memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan derasnya memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah darah membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak berdaging itu. Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika orang tinggi besar itu semakin keras memukul, terdengarlah jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut orang tua yang disiksa dengan ganasnya itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun ada kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk, ternyata sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang laki-laki yang tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa melihat salah seorang warga desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih dari 10 orang. Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa tahun saja, desa ini tidak hanya mengalami kemunduran kemakmuran serta pemerintahan tetapi juga mengalami kemunduran jiwa yang sangat mengejutkan. Suatu daerah dimana seorang sakti yang bernama Sora Dipayana tinggal dan memerintah, kini mengalami suatu penghinaan yang sedemikian besarnya tanpa perlawanan sedikit pun.
Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk setempat menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelaliman-kelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia masih belum bisa menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal diam. Mungkin daerah itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu Mahesa Jenar jadi berbimbang
Hal ini pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya.
Sementara itu, cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya berteriak-teriak saja. Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu, minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting. Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya berkata, “Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa Jenar menjawab sambil tergagap, “Baik Ki Ageng….”
“Sst…,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli, “Jangan kau sebut itu.”
“Ach…,” jawab Mahesa Jenar. “Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, ”aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya, “Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya, “Memang, Tuan, aku merasakan beberapa keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri. Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu ternyata sudah tidak bernapas lagi. Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang. Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian. Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan. Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya. Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula, dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani berbuat sesuatu atas orang tua itu. Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas kudanya, yang lain pun berbuat demikian. Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk. “Kamu semua telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan membunuh kamu semua sampai ke anak cucu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua tiga butir kelapa. Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang menonjol, berteriak dengan kerasnya, katanya, “Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru. “Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar. “Saudara-saudaraku, apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku karena aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan. “Sejak kau tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap desa kita?”
Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban kemarahan penduduk. Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya, “Mahesa Jenar, jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya untuk menjaga diri.”
“Tuan…,” tanya Mahesa Jenar, “permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang anggota gerombolan itu?”
“Ya….,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Tangan orang itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga akhirnya ia bertanya, “Tuan…, guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris Sigar Penjalin, serta yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas, “kau senang pada lagu itu?”
“Tentu… tentu,” sahut Mahesa Jenar, “tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Kalau ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus. “Mahesa Jenar…”jawab Pandan Alas kemudian, ”sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan, memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu gerombolan aliran hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut serta menikmati kebesaran daerah ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa yang berhak telah datang untuk melindungi daerahnya,”.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir. “Jadi,” katanya, ”beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?”
“Sst… jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu. Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain. Tetapi disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak segan-segan untuk bertindak serta mengorbankan diri.
Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya. Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah keras seperti batu, “Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus… bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.
Orang tua yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.
BERSAMBUNG